Untuk suatu keperluan tertentu, terkadang dokter terpaksa harus melakukan pembedahan pada jasad manusia yang telah menghembuskan nafas terakhirnya. Jasad manusia tentu berbeda dengan jasad hewan, yang boleh dibuang, dipendam atau kalau memang matinya dengan disembelih dan hewan itu halal, justru boleh dimakan.
Ada banyak urusan fiqih terkait dengan jasad itu, misalnya wajib dikuburkan, setelah sebelumnya dimandikan, dikafani dan dishalatkan. Dan para ulama sepakat bahwa semua itu hukumnya merupakan fardhu kifayah, dimana bila adamayat seorang muslim yang tidak dimandikan, dikafani atau dikuburkan, maka berdosalah semua orang yang ada disekitarnya.
Lalu bagaimana pandangan syariat Islam atas praktek bedah mayat yang sulit ditinggalkan ini? Apa ketentuan dan syarat sekaligus aturan main dalam masalah ini?. Kita akan membahasnya secara lebih detail nanti setelah kita awali dengan pengertian. Biasanya tujuannya untuk kepentingan hukum, penelitian atau pengajaran.
Bedah mayat sering juga juga disebut dengan otopsi, atau dalam bahasa Arab disebut dengan jirahah attasyrih.(جراحة التشریح) Istilah otopsi kalau ditelusuri berasal dari bahasa Yunani yang berarti : “melihat dengan mata sendiri”.
Salah satu versi tentang awal mula sejarah pembedahan dan pemisahan organ jenazah adalah apa yang telah dilakukan oleh manusia pada 3000 tahun SM oleh bangsa Mesir Kuno dalam praktek mumifikasi. Pembedahan mayat yang digunakan untuk autopsi sendiri bermula pada sekitar awal millenium ketiga SM, walaupun sebenarnya hal ini berlawanan dengan norma masyarakat saat itu yang menganggap pengrusakan terhadap tubuh jenazah akan menghalanginya ke akhirat.
Konsep ilmu forensik modern saat ini bagaimanapun juga tidak bisa dilepaskan dari jasa-jasa orang-orang di zaman dahulu. Buku berjudul “Xi Yuan Lu” , ditulis oleh Song Ci (1186–1249) pada masa Dinasti Song tepatnya tahun 1248 adalah salah satu tulisan pertama tentang penggunaan obat atau zat kimia dan Entomology untuk menemukan penyebab suatu kematian. Buku ini juga memberikan nasihat tentang bagaimana membedakan antara korban yang tewas karena tenggelam atau pencekikan, bersama dengan bukti-bukti lain dari hasil pemeriksaan mayat yang pernah dilakukan untuk menentukan apakah kematian disebabkan oleh pembunuhan, bunuh diri, atau kecelakaan.
Sejarah mencatat bangsa Romawi Kuno telah membuat peraturan tentang autopsi sekitar 150 SM. Pada tahun 44 SM, jenazah Julius Caesar adalah salah satu yang beruntung menjadi obyek resmi autopsi, dimana belakangan para autopsist menemukan bahwa tusukan kedua pada tubuhnya-lah yang fatal sehingga berakibat pada kematian.Yunani kuno pada abad ketiga SM juga memiliki 2 orang autopsist handal dan terkenal, Erasistratus dan Herophilus Khalsedon yang tinggal di Alexandria.
Proses autopsi modern berasal dari para anatomis dari Renaissance. Giovanni Morgagni (1682-1771), yang dikenal sebagai bapak patologi anatomi, menulis karya lengkap
pertama pada patologi, “De Sedibus et Causis Morborum per Anatomen Indagatis”. Sedangkan sidik jari mulai digunakan untuk bukti ketika Juan Vucetich memecahkan kasus pembunuhan di Argentina dengan memotong sebagian dari pintu dengan sidik jari berdarah di atasnya. Di Eropa abad ke-16, praktisi medis ketentaraan dan universitas mulai mengumpulkan informasi tentang sebab dan cara kematian. Ambroise Pare, seorang ahli bedah tentara Prancis, mempelajari efek kematian karena kekerasan pada organ internal.
Dua ahli bedah Italia, Fortunato Fidelis dan Paolo Zacchia, membangun fondasi munculnya patologi modern dengan mempelajari perubahan yang terjadi dalam struktur tubuh akibat penyakit. Pada tahun 1776, kimiawan Swedia Carl Wilhelm Scheele menemukan cara untuk mendeteksi oksida arsenous alias arsenik, di mayat meskipun hanya dalam kasus arsenik yang berjumlah besar. Penyelidikan ini diperluas, pada tahun 1806, oleh kimiawan Jerman Valentin Ross, yang mempelajari cara mendeteksi racun pada dinding perut korban, dan oleh ahli kimia Inggris James Marsh, yang menggunakan proses kimia untuk mengkonfirmasi penggunaan arsenik dalam suatu percobaan pembunuhan di tahun 1836.
B. Tiga Macam Bedah Mayat
Dilihat dari kepentingannya
1. Otopsi Forensik
Otopsi forensik yaitu otopsi yang dilakukan oleh penegak hukum terhadap korban pembunuhan atau kematian yang mencurigakan, untuk mengetahui sebab kematian, menentukan identitasnya, dan sebagainya. Di dalam Al-Quran ada kisah yang memberi isyarat tentang penelitian atas identitas pembunuh dari korban yang sudah jadi mayat. Surat yang kedua di dalam Al-Quran Al- Kariem dinamai surat Al-Baqarah karena di dalamnya ada kisah tentang perintah Allah SWT kepada Bani Israil untuk menyembelih seekor sapi betina. Untuk apa ceritanya sapi itu harus disembelih, sampai kemudian kisah itu sedemikian menghebohkan, sampai dijadikan nama surat dalam Al-Quran? Kisahnya sebagaimana dituliskan oleh Al-Imam Asy- Syaukani dalam tafsir beliau, Fathul Qadir, bahwa kisah ini dilatar-belakangi dari pembunuhan seorang keponakan atas pamannya. Motifnya karena si keponakan tidak sabaran ingin segera mendapatkan harta warisan sang paman yang memang tidak punya anak. Mayat sang paman kemudian diletakkan begitu saja di depan pintu rumah orang yang tidak tahu menahu urusan. Hingga gemparlah masyarakat bertanya-tanya tentang siapa pembunuhnya.
Lalu mereka sepakat untuk meminta petunjuk kepada Nabi Musa alaihissalam, dimana jawabannya adalah perintah dari Allah SWT kepada Bani Israil untuk menyembelih seekor sapi betina. Lalu bagian dari tubuh sapi itu dipukulkan ke tubuh mayat itu, tiba-tiba mayat itu hidup lagi dan membuat pernyataan bahwa keponakannya-lah yang membunuhnya.
Lalu Kami berfirman: “Pukullah mayat itu dengan sebahagian anggota sapi betina itu !” Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaanNya agar kamu mengerti. (QS. Al-Baqarah : 72)
Ayat ini memang tidak bicara tentang bedah mayat, namun mayatnya justru bisa berbicara menjelaskan siapa yang telah membunuhnya. Bedah forensik hari ini seolah-olah membuat jasad mayat itu bisa berbicara, karena dengan pembedahan seperti ini, semua penyebab kematiannya bisa dipecahkan dengan mudah. Otopsi forensik biasanya dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga meninggal akibat suatu sebab yang tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan, maupun bunuh diri. Otopsi ini dilakukan atas permintaan penyidik sehubungan dengan adanya penyidikan suatu perkara. Tujuan dari otopsi medikolegal adalah :
Untuk memastikan identitas seseorang yang tidak diketahui atau belum jelas.
Untuk menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian, dan saat kematian.
Untuk mengumpulkan dan memeriksa tanda bukti untuk penentuan identitas benda penyebab dan pelaku kejahatan.
Membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalam bentuk visum et repertum.
2. Otopsi Klinis
Otopsi klinis yaitu otopsi untuk mengetahui berbagai hal yang terkait dengan penyakit, misal jenis penyakit sebelum mayat meninggal. Berbeda dengan otopsi forensik, biasanya otopsi ini dilakukan bukan untuk mencari siapa pembunuhnya, melainkan untuk mengetahui apa penyebab seseorang meninggal dunia. Menentukan penyebab kematian yang pasti, menganalisa kesesuaian antara diagnosis klinis dan diagnosis postmortem, pathogenesis penyakit, dan sebagainya.
Otopsi klinis biasanya dilakukan dengan persetujuan tertulis ahli waris, dan kadang ada kalanya ahli waris sendiri yang memintanya.
3. Otopsi Anatomis
Otopsi anatomis adalah otopsi yang dilakukan mahasiswa kedokteran untuk mempelajari ilmu anatomi. Tujuannya semata-mata untuk ilmu pengetahuan, dimana para calon dokter mau tidak mau harus mengenal seluk-beluk anatomi tubuh manusia luar dan dalam. Biasanya bahan yang dipakai adalah mayat yang dikirim ke rumah sakit yang telah disimpan 2 x 24 jam di laboratorium dan tidak ada ahli waris yang mengakuinya.
Setelah diawetkan di laboratorium anatomi, mayat disimpan sekurang-kurangnya satu tahun sebelum digunakan untuk praktikum anatomi. Menurut hukum, hal ini dapat dipertanggung-jawabkan, sebab tak ada yang mengakuinya menjadi milik negara setelah tiga tahun (KUHPerdata pasal 1129). Ada kalanya, seseorang mewariskan mayatnya setelah ia meninggal pada fakultas kedokteran, sesuai dengan KUHPerdata pasal 935.
Dalil Syar’i Pembedahan Mayat
Kita tidak menemukan dalil yang sharih (tegas) baik di dalam Al-Quran Al-Kariem atau hadits-hadits nabawi semua hal yang terkait secara langsung dengan masalah otopsi mayat. Barangkali karena otopsi seperti di zaman sekarang ini belum lagi dikenal di masa lalu. Yang kita temukan hanya dalil-dalil secara umum dari sunnah nabawiyah tentang larangan merusak tulang mayat seorang muslim. Selain itu kita menemukan Perbedaan pendapat di antara para ulama tentang hukum membedah perut mayat.
1. Mematahkan Tulang Jenazah Muslim
Hadits yang melarang kita merusak jasad mayat yang telah meninggal dunia adalah:
Dari Jabir ra berkata, “Aku keluar bersama Rasulullah SAW mengantar jenazah, beliau duduk di pinggir kuburan dan kami pun juga demikian. Lalu seorang penggali kubur mengeluarkan tulang (betis atau anggota) dan mematahkannya (menghancurkannya). Maka nabi SAW bersabda, “Jangan kamu patahkan tulang itu.Sesungguhnya mematahkan tulang seorang mukmin yang telah menjadi mayat sama saja dengan mematahkan sewaktu masih hidup. (HR Malik, Ibnu Majah, Abu Daud)
2. Membedah Perut Mayat
Sedangkan perbedaan pendapat di kalangan ulama klasik tentang membedah perut mayat, kita dapati dalam kitab-kitab mereka. Hanya saja masalah juga tidak sama persis dengan kasus otopsi. Mereka membedah perut mayat bila mayat itu menelan harta atau di dalamnya ada janin yang diyakini masih hidup.
Para ulama di kalangan mazhab Al-Hanafiyah menuliskan dalam kitab-kitab mereka tentang kebolehan membedah perut seseorang yang telah wafat dan diyakini bahwa di dalam perutnya ada harta benda. Dengan syarat bahwa harta di dalam perut mayati itu milik orang lain, sedangkan mayat itu tidak punya harta yang ditinggakan untuk mengganti harta milik orang lain itu. Maka dibolehkan saat itu untuk mengeluarkan harta dari perutnya untuk melunasi hak orang lain.
Kebolehan itu dilandasi sebuah kaidah bahwa hak adami harus didahulukan dari pada hak Allah. Mengembalikan harta orang lain itu adalah hak adami, sedangkan menjaga mayat agar tidak dirusak adalah hak Allah (larangan Allah). Maka dibolehkan hukumnya untuk membedah perut mayat itu meski harus melanggar larangan Allah. Bahkan ulama di kalangan mazhab Asy-Syafi”iyah berpendapat lebih jauh. Bagi mereka, kebolehan membedah perut mayat dan mengambil harta di dalamnya tidak harus dengan syarat untuk mengembalikan hak orang lain. Bahkan bila harta itu memang milik si mayat tersebut sekalipun, hukumnya tetap boleh dibedah dan diambil. Pendapat para ulama Al-Malikiyah kira-kira tidak jauh berbeda dengan kedua mazhab di atas. Sedangkan mazhab Imam Ahmad menolaknya.
3. Kebolehan Membedah Perut Wanita Hamil yang Meninggal
Di dalam literatur fiqih klasik juga kita dapati pandangan para ulama tentang hukum membedah perut wanita hamil yang meninggal. Perkara ini sedikti banyak juga ada kaitannya dengan masalah otopsi, meski tidak terlalu mirip.
Mazhab Al-Hanafiyah dna Asy-Syafi’iyah mengatakan dibolehkan membedah perut wanita hamil yang meninggal dunia, asalkan diyakini janin di dalam perutnya itu masih hidup. Hal itu lebih diutamakan demi menyelamatkan nyawa manusia hidup, meski harus dengan merusak mayat. Namun mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah tidak membolehkan hal itu.
Fatwa Yang Membolehkan
Berangkat dari dalil-dalil di atas serta ijtihad tentang bedah perut mayat oleh para ulama di masa lalu, kini para ulama modern mengambil kesamaan ‘illat dengan bedah
mayat. Ketika menetapkan hukum kebolehan untuk melakukan otopsi, sebagian besar ulama dan umumnya memperbolehkannya, asalkan terpenuhi semua syarat dan ketentuannya. Namun ada juga sebagian lain yang mengharamkannya.
Para ulama yang membolehkan otopsi beralasan bahwa alasan otopsi diperlukan secara nyata, antara lain untuk dapat mewujudkan kemaslahatan di bidang keamanan, keadilan, dan kesehatan. Setidaknya ada empat pihak yang berkompeten dalam masalah ini yang telah memberikan lampu hijau untuk dibolehkannya bedah mayat ini, antara lain :
a. Hai’ah Kibaril Ulama di Kerajaan Saudi Arabia.
Lembaga ini pada Daurah yang kesembilan di tahun 1976 M – 1397 H telah memberikan fatwa atas kebolehan praktek bedah mayat ini.
b. Majma’ Fiqih Islami di Mekkah Al-Mukarramah
Lembaga yang berpusat di Mekkah Al-Mukarramah Kerajaan Saudi Arabia ini juga termasuk mengeluarkan fatwa atas keboleh praktek bedah mayat, pada Daurah yang kesepuluh pada bulan Shafar tahun 1408 hijriyah bertepatan dengan 17 Otober 1987.
c. Lajnah Al-Ifta’ Kerajaan Jordan Al-Hasyimiyah
Lembaga fatwa milik kerajaan Jordan ini mengeluarkan fatwa atas kebolehan bedah mayat pada tanggal 20 Jumada-Al-Ula 1397 hijriyah.
d. Lajnah Al-Ifta’ di Al-Azhar Mesir
Lembaga ini telah mengeluarkan fatwa kebolehan melakukan bedah mayat pada tahun 29 Pebruari 1971.
e. Para Ulama Secara Pribadi
Sedangkan secara pribadi-pribadi, cukup banyak pula para ulama yang mengeluarkan fatwa atas kebolehan bedah mayat ini, diantaranya As-Syeikh Hasanain Makhluf, Prof. Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, As-Syeikh Ibrahim Al-Ya’qubi (alm), Dr. Mahmud Nadzhim An-Nusaimi, Dr. Muhammad Ali As-Sarthawi dan lainnya.
Fatwa Yang Mengharamkan
Pendapat kedua adalah pendapat yang mengharamkan otopsi. Alasannya karena otopsi pada hakikatnya melanggar kehormatan mayat, yang telah dilarang berdasarkan sabda Nabi SAW :
Sesungguhnya mematahkan tulang seorang mukmin yang telah menjadi mayat sama saja dengan mematahkan sewaktu masih hidup. (HR Malik, Ibnu Majah, Abu Daud)
Ini pendapat Taqiyuddin An-Nabhani, Bukhait Al-Muthi’i, dan Hasan As-Saqaf.
Ketetapan Majma’ Fiqih Islami
Majma’ Fiqih Islami, sebuah institusi para ulama dunia yang berada di bawah bendera Rabithah ‘Alam Islami dalam sidang di Mekah Al-Mukarramah pada tanggal 17 Otober 1987 telah mengeluarkan ketetapan tentang masalah yang anda tanyakan.
1. Dibolehkan melakukan otopsi terhadap mayat selama bertujuan salah satu dari hal-hal di bawah ini: Kepastian tuduhan yang bersifat kriminal untuk mengetahui penyebab kematian seseorang. Hal itu apabila hakim kesulitan untuk memastikan penyebab kematian. Kecuali hanya dengan jalan otopsi saja. Kepastian tentang penyebab suatu penyakit yang hanya bisa dibuktikan lewat otopsi. Demi untuk mendapatkan kejelasan penyakit tersebut serta menemukan obat penangkalnya. Untuk pengajaran kedokteran dan pembelajarannya, yaitu seperti yang dilakukan di fakultas-fakultas kedokteran.
2. Bila otopsi itu bertujuan untuk pembelajaran, maka harus mengacu kepada hal-hal berikut ini: Bila jasad itu milik orang yang diketahui identitasnya, maka dibutuhkan izinnya sebelum meninggal atau izin dari keluarga ahli warisnya. Dan tidak boleh mengotopsi orang yang darahnya terlindungi (muslim atau kafir zimmy) kecuali dalam keadaan darurat. Wajib melakukan otopsi dalam kadar yang minimal atas tidak merusak jasad mayat. Mayat wanita tidak boleh diotopsi kecuali hanya oleh dokter wanita juga, kecuali bila memang sama sekali tidak ada dokter wanita.
3. Wajib dalam segala keadaan untuk menguburkan kembali semua jasad mayat yang telah diotopsi.
Itulah ketetapan para ulama tentang hukum otopsi, yang pada hakiatnya dibolehkan asal memenuhi ketetapan yang telah digariskan.