Pengertian Perawi Hadits dan Syaratnya

Pada kesempatan kali ini kita membahas artikel yang berjudul “Pengertian Perawi Hadits dan Syaratnya” Mari kita simak penjelasan lengkap dibawah ini.

Pengertian Perawi

Menurut ilmu hadits Peperawi adalah “orang yang meriwayatkan hadits”. Salah satu cabang dari penelitian hadits adalah penelitian terhadap perawi hadits. Baik menyangkut sisi positif maupun sisi negetif perawi. Ilmu ini dikenal dengan istilah ilmu Jarh dan Ta’dil. Ilmu ini membahas tentang kondisi pepeperawi. Apakah dapat dipercaya, handal, jujur, adil, dan tergas atau sebaliknya.
Jarh dan Ta’dil sebenarnya berasal dari ilmu rijalul hadits. Mustafa Al Saba’i memasukkan ilmu ini sebagai salah satu ilmu yang paling berharga dalam “Ulum Al Hadits”. Melalui ilmu ini kajian dan penelanjangan terhadap peperawi hadits akan terjadi kredibilitas pepeperawi hadits akan terukur dengan jelas. Mengingat ilmu ini sangat penting. Siapapun yang menggeluti hadits ia harus mempelajarinya. Karena ilmu ini menjadi penentu hadits, apakah termasuk shohih atau tidak. Layak dijadikan sumber hukum atau tidak.[1]
Seorang peperawi yang adil harus memiliki karakteristik moral baik, muslim, telah baligh, berakal sehat, terbebas dari kefasikan dan hal – hal yang menyebabkan harga dirinya jatuh dai ia meriwayatkan hadits dalam keadaan sadar.
Karakter yang terdapat dalam diri seorang peperawi, mendorongnya agar selalu melakukan hal – hal postif atau perawi selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap agamanya. Maka dari itu peperawi di tuntut mengetahui atau menguasai isi kitabnya. Jika meriwayatkan haditsnya dari kitab dan juga ia harus mengetahui hal – hal yang dapat menggangu makna hadits yangmdiriwayatkan.[2]
 

 

Syarat – Syarat Perawi


Berakal, cakap/cermat , adil, dan Islam adalah syarat syarat yang mutlak untuk menjadi seorang peperawi agar riwayatnya dapat diterima . apabila seorang peperawi tidak memenuhi seluruh predikat itu maka hadistnya akan ditolak dan tidak akan dipakai. Oleh para kritikus hadist, baik angkatan lama maupun angkatan baru, keempat syarat tersebut membutuhkan penjabaran lebih lanjut. Syu’bah bin al~Hajjaj(160 H) pernah ditanya : “ Siapakah yang hadistnya terpakai ?” Syu’bah menjawab: “ Orang yang meriwayatkan hadist dari orang terkenal yang justru tidak mereka kenal, hadistnya tidak terpakai. Atau apabila dia salah memahami suatu hadist. Atau bila dia sering melakukan kesalahan-kesalahan. Atau meriwayatkan hadist yang disepakati banyak orang bahwa hadist tersebut salah. Maka hadist-hadist yang diriwayatkan oleh orang seperti itu tidak dipakai. Adapun selainya, boleh diriwayatkan.”[3]
Tampaknya Syu’bah ingin menegaskan bahwa dua syarat yang harus dipenuhi oleh seorang peperawi bila hadistnya ingin diterima yakni adil dan cermat. Sering melakulan kesalahan berarti tidak cermat, dan menyalahgunakan pemahaman hadist berarti tidak adil. Mengenai persyaratan harus Islam dan berakal, keduanya sudah menjadi syarat penting dan mutlak , sehingga Syu’bah tidak perlu menyebutkanya lagi . sebab tidak bisa kita gambarkan lagi seorang yang adil tapi bukan Islam atau orang yang cermat tapi tak berakal.[4]

a. Berakal

Menurut para ahli hadist berkal berarti identik dengan kemampuan seseorang untuk  membedakan. Jadi untuk mampu menanggung dan menyampaikan suatu hadist, seseorang harus telah memasuki usia akil balig[3]. Sahabat yang paling banyak menerima riwayat, yang  mereka dengar pada masa kecilnya, ialah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, dan Abu Sa’id al-Khudri. Mahmud bin rabi’ masih ingat Rasulullah menghukumnya pada waktu ia membuat kesalahan dan beliau wafat ketika Mahmud berusia 5 tahun.

b. Cermat

Kecermatan peperawi bisa dikenali dari hadist yang dia riwayatkan ternyata cocok dengan yang diriwayatkan oleh orang yang dikenal cermat, telilti dan terpercaya. tetapi itu tidak harus mengena keseluruhan. Perbedaan yang tidak sedikit tentang hadist yang mereka riwayatkan masih dapat didamaikan. Tapi jika perbedaan terlampau jauh dan tidak sesuai dengan hadist yang mereka riwayatkan, maka kecermatanya masih diragukan.
Syu’bah al-Hajjaj berkata: “Hadist aneh yang anda terima berasal dari orang yang aneh pula”.[6] Allah akan menghargai orang orang yang bersikap cermat dalam periwayatan hadist, merekalah orang yang pandai dan bijaksana, mereka hanya mau mengutip hadis shahih saja . hadist shahih diketahui bukan hanya dari riwayatnya saja tapi juga melalui pemahaman dan penghafal dan banyak mendengar.[5]

c. Adil

Peperawi yang adil ialah yang bersikap konsisten dan berkomitmen tinggi pada urusan agama, yang bebas dari setiap kefasikan dan dari hal-hal yang merusak kepribadian, Al-khatib al-Baghdadi memberikan definisi adil sebagai berikut: ”yang tahu melaksanakan kewajibannya dan segala yang diperintahkanya kepadanya- dapat menjaga diri dari larangan-larangan, menjauhi dari kejahatan, mengutamakan kebenaran dan kewajiban dalam segala tindakan dan pergaulannya, serta menjaga perkataan yang bisa merugikan agama dan merusak kepribadian. Barang siapa dapat menjaga dan mempertahankan sifat-sifat tersebut maka ia dapat disebut bersikap adil bagi agamanya dan hadistnya diakui kejujuranya.
Para ulama membedakan adilnya seorang perawi dan bersihnya seorang saksi. Jika masalah kebersihan dapat baru diterima dengan penyaksian dua saksi. Saksi ini baik laki laki maupun saksi perempuan, orang merdeka atau berstatus budak, dengan persyaratan dapat adil terhadap dirinya sendiri.[9] Itulah menurut Imam fakhrudin dan Saif-Ahmad. Kepribadian yang baik harus dipenuhi oleh seorang perawi yang adil lebih banyak dikaitkanya dengan ukuran ukuran moral seorang perawi[6]

d. Muslim

Mengenai syarat ke-Islaman, itu sudah jelas. Seorang perawi harus meyakini dan mengerti akidah Islam, karena dia meriwayatkan hadist atau khabar yang berkaitan dengan hukum-hukum, urusan dan tasyri’ agama Islam. Jadi dia mengemban tanggung jawab untuk urusan memberi pemahaman tentang semuanya kepada manusia. Namun syarat Islam sendiri hanya berlaku ketika seseorang menyampaikan hadist, bukan ketika membawa atau menanggungnya.
perawi Benar – benar memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam. Diantaranya, pepeperawi harus seorang ahli ilmu Nahwu, sharaf dan ilmu bahasa, mengerti konotasi lapadz dan maksudnya, memahami perbedaan – perbedaan dan mampu menyampaikan hadits dengan tepat. Peperawi dalam kondisi terpaksa. Lupa susunan harfiahnya, sedangkan kandungan hadits tersebut sangat diperlukan. Hal ini dianggap baik dari pada tidak meriwayatkan suatu hadits, atau enggan meriwayatkan hadits dengan alasan lupa lapadznya sementara nilai pokok (hukum) yang terkadung dalam hadits tersebut sangat diperlukan ummat Islam.[7]
 
Pepeperawi harus menyertakan kalimat – kalimat yang menunjukkan bahwa hadits tersebut diriwayatkan dengan periwayatan makna seperti terungkap pada kalimat – kalimat “Ad kama kola”.Menurut periwayatan hadits dengan cara bi al makna (Makna) di perbolehkan apabila lapdz – lapadz hadits tersebut lupa. Periwayatan itu tidak merusak maksud, sehingga terpelihara dari kesalahan periwayata. Tetapi cara ini hanya akan berlaku pada zaman sahabat yang langsung mereportase prilaku Nabi. Kebolehan periwayatan hadits dengan makna terbatas, pada masa sebelum di bukukan hadits nabi secara resmi. Sesudah masa pembukuan (tadwin) hadits. Harus dengan lapadz. Kedudukan boleh tidaknya  meriwayatkan hadits denan makna, sejak sahabatpun sudah controversial, namun pada umumnya sahabat memperbolehkannya. Tetapi, sebenarnya mereka yang berpegang teguh pada periwayatan dengan lapadz tidak melarang secara tegas sahabat lain dalam meriwayatkan hadits dengan makna.[8]

[1] Rahman, fatchur. 1968. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Yogyakarta: PT Alma’ Arif.
[2] Suparta, Munzier. 2010. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pers
[3] Prof. KH. Mustafa Yakub, M.A, Dasar – Dasar Ilmu Hadits
[4] Drs. Yusuf Saefullah, M.Ag, Pengertian Ilmu Hadits
[5] Al Naisaburi, Al Hakim. 2006. Ma’rifah Ulum al-Hadist. Bandung: Nuansa mmmmCendekia.
[6] Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor : Ghalia Indonesia
[7] Thahhan, Mahmud. 2007. Intisari Ilmu Hadits. Malang : UIN-Malang Press
[8] Uwayd ,Salah Muhammad Muhammad. 1989. Taqrib Al-tadrib . Beirut : Dar al-mmmmKutub al-Imliyyah

 

 
Nah begitulah pembahasan artikel kali ini tentang “Pengertian Perawi Hadits danSyaratnya”. Semoga Bermanfaat

Leave a Comment