Macam-Macam Hukum Taklifi

Pada kesempatan kali ini kita membahas artikel yang berjudul Macam-Macam Hukum Taklifi.Mari kita simak penjelasan lengkap dibawah ini.
Hukum taklifi adalah syar’i yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf) atau yang mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan. Dengan kata lain adalah yang dituntut melakukannya atau tidak melakukannya atau dipersilahkan untuk memilih antara memperbuat dan tidak memperbuat[1].

Hukum taklifi ini terbagi kepada lima bagian yaitu; ijab (wajib), nadb (sunat) , tahrim (haram), karahah (makruh), dan ibahah (mubah).

Ijab adalah firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti. Misalnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2]:43:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” Nadb adalah firman Allah yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan perbuatan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk berbuat. Misalnya, firman Allah surat Al-Baqarah [2]:282:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya.”
Tahrim adalah firman yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi.”
Kemudian, karahah adalah firman Allah yang menuntut untuk tidak melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk tidak berbuat. Misalnya firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 101:
“Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu niscaya menyusahkanmu.”
Sedangkan ibahah adalah firman Allah yang memberi kebebasan kepada mukalaf untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 235:
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran.”
Golongan Hanafiyah membagi hukum taklifi kepada tujuh bagian, yaitu dengan membagi firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti kepada dua bagian, yaitu fardhu dan ijab.[2]
Suatu perintah didasarkan dengan dalil yang qath’i, seperti dalil Al-Quran dan hadis mutawatir maka perintah itu disebut fardhu. Namun, bila suruhan itu berdasarkan dalil yang zhanni, maka ia dinamakan ijab. Begitu pula larangan. Bila larangan itu berdasarkan dalil zhanny, maka ia disebut karahah tahrim.
Dengan pembagian seperti di atas, golongan Hanafiyah membagi hukum taklifi kepada fardhu, ijab, tahrim, karahah tanzih, nadb, dan ibahah[3].
Sekalipun golongan yang disebut terakhir ini membagi hukum taklifi kepada tujuh bagian, tapi pada umumnya ulama sepakat membagi hukum tersebut kepada lima bagian seperti yang telah disebut di atas. Kelima macam hukum itu menimbulkan efek terhadap perbuatan mukalaf dan efek itulah yang dinamakn al-hakam al-khamsah oleh ahli fiqih, yaitu wajib, haram, mandub, makruh, dan mubah.[4]
 
1.      Wajib
a.       PengertianWajib
Para ahli ushul memberikan definisi wajib ialah:
“Wajib menurut syara’ ialah apa yang dituntut oleh syara’ kepada mukallaf untuk memperbuatnya dalam tuntutan keras.”Atau menurut definisi lain ialah suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala dan jika ditinggalkan akan berdosa.
Wajib ini dapat dikenal melalui lafal atau melalui tanda (qarinah) lain. Wajib yang ditunjuk melalui lafal seperti dalam bentuk lafal amar (perintah) dalam firman Allah:
Artinya: “… dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS. Thaha:14)
Dapat juga dikenal melalui kata-kata yang tercantum dalam kalimat itu sendiri yang menunjukkan wajib seperti dalam firman-Nya:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu ….” (QS. Al-Baqarah: 183)
b.      PembagianWajib 
Dilihat dari beberapa segi, wajib terbagi empat:
1) Dilihat dari segi tertentu atau tidak tertentunya perbuatan yang mmdituntut,wajib dapat dibagi dua:
·         Wajib mu’ayyan, yaitu yang telah ditentukan macam perbuatannya, misalnya membaca fatihah dalam shalat.
·         Wajib mukhayyar, yaitu yang boleh pilih salah satu dari beberapa macam perbuatan yang telah ditentukan. Misalnya, kifarat sumpah yang memberi tiga alternatif, memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian sepuluh orang miskin, atau memerdekakan budak.[5]
2)  Dilihat dari segi waktu mengerjakannya dan waktu yang tersedia untuk mmmengerjakan yang diwajibkan.wajib yang seperti ini dapat dibagi mmmenjadi dua macam:
·         Wajib muwassa’, waktu yang tersedia untuk melaksanakan yang diwajibkan itu lebih luas atau lebih banyak dari waktu mengerjakan kewajiban itu. Misalnya shalat zuhur. Waktu yang tersedia untuk melaksanakan shalat zuhur jauh lebih lapang dibandingkan dengan waktu yang terpakai untuk melaksanakan shalat zuhur. Maka wajib yang seperti ini dapat dilaksanakan pada awal waktu atau pada pertengahan waktu atau pada akhir waktu. Jika wajib muwassa’ ingin dikerjakan pada pertengahan atau akhir waktu maka menurut para ulama hendaklah berniat setelah tiba waktunya (awal waktu) untuk menunda pelaksanaannya pada waktu yang diinginkan karena kalau tidak diniatkan maka mungkin termasuk orang yang melalaikan waktu.[6]
·         Wajib mudhayyiq, yakni yang waktunya yang tersedia persis sama atau sama banyak dengan waktu mengerjakan kewajiban itu. Seperti puasa bulan Ramadhan. Puasa itu sendiri menghabiskan seluruh hari bulan Ramadhan. Karena itulah wajib mudhayyiq tidak dapat ditunda dari waktu yang tersedia untuk mengerjakannya.
3) Dilihat dari segi orang yang harus mengerjakannya, terbagi kepada dua mmbagian:
·         Wajib ‘ain, ialah tuntutan syara’ untuk melaksanakan sesuatu perbuatan dari setiap mukallaf dan tidak boleh diganti oleh orang lain, seperti kewajiban mengerjakan shalat, puasa, zakat, dan haji. Wajib ini disebut juga fardhu ‘ain.
·         Wajib kifayah, ialah wajib yang dibebankan kepada sekelompok orang dan jika ada salah seorang yang mengerjakannya maka tuntutan itu dianggap sudah terlaksana, namun bila tidak ada seorangpun yang mengerjakannya, maka berdosalah sekelompok orang tersebut. seperti amar ma’ruf dan nahi munkar, shalat jenazah, mendirikan rumah sakit, sekolah, dan lain sebagainya.[7]
4) Dilihat dari segi kadar (kuantitas)nya dan bentuk tuntutan, terbagi mmkepada dua:
·         Wajib muhaddad, ialah yang ditentuka oleh syara’ bentuk perbuatan yang dituntut dan mukallaf dianggap belum melaksanakan tuntutan itu sebelum melaksanakan seperti yang telah dituntut oleh syara’ atau dengan kata lain adalah kewajiban yang telah ditentukan kadar atau jumlahnya. Contohnya shalat, zakat, dan pelunasan hutang. Shalat lima waktu telah ditetapkan waktunya, jumlah rakaatnya, rukun dan syaratnya. Zakat telah ditetapkan jenis benda yang wajib dizakati dan jumlah zakat yang wajib dikeluarkan. Wajib muhaddad kalau tidak dilaksanakan maka menjadi hutang dan boleh diambil dengan paksa.[8]
·         Wajib ghairu muhaddad, ialah perbuatan yang wajib dan tidak wajib yang tidak ditentukan cara pelaksanaanya dan waktunya atau kewajiban yang tidak ditentukan batas bilangannya, seperti infak fi sabilillah, memberi bantuan kepada orang yang berhajat, tolong menolong, dan lain sebagainya. Wajib ghairu muhaddad jika tidak dilaksanakan tidak menjadi hutang dan tidak boleh dipaksa.
2. Mandub
a. PengertianMandub
        Para ahli ushul mengatakan yang dimaksud dengan mandub ialah:
“ Yang dituntut oleh syara’ memperbuatnya dari mukallaf namun tuntutannya tidak begitu keras.”
Atau dengan kata lain segala perbuatan yang dilakukan akan mendapatkan pahala, tetapi bila tidak dilakukan tidak akan dikenakan siksa atau dosa (‘iqab).
      Perbuatan mandub dapat dikenal melalui lafal yang tercantum dalam nash seperti dicantumkan kata “disunnatkan” atau “dianjurkan” atau dibawakan dalam bentuk amar namun ditemui tanda yang menunjukkan bahwa tuntutan itu tidak keras dari nash itu sendiri. Seperti dalam firman Allah:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah  (hutang piutang) tidak secara tunai hendaklah kamu menulisnya ….” (QS. Al-Baqarah 282)
Dalam ayat lain diterangkan:
Artinya: “… maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu tidak menulisnya….” (QS. Al-Baqarah 282)
      Ayat yang kedua ini dapat dipahami bahwa menulis hutang piutang itu hanya mandub (sunnat). Dan juga mungkin tanda yang dapat dipergunakan untuk memalingkan amar yang mempunyai arti wajib ke arti mandub melalui kaidah umum agama atau melalui kaidah fiqih dan mungkin juga ditunjuk oleh urutan hukuman bagi orang yang meninggalkannya.
    b.  PembagianMandub
     Para ulama dalam kalangan mazhab Hanafi menyamakan arti sunat dan nafal dengan mandub, mandub menurut mereka ada tiga macam:
·         Sunat Hadyi ialah suatu perbuatan yang diperintahkan untuk menyempurnakan perbuatan wajib seperti azan dan shalat berjamaah. Orang yang meninggalkan perbuatan yang seperti ini dikatakan tersesat dan tercela dan kalau seandainya seisi kampung bersepakat meninggalkannya maka mereka dapat diperangi.
·         Sunat Zaidah ialah semua perbuatan yang dianjurkan memperbuatnya sebagia sifat terpuji bagi mukallaf karena mengikuti jejak nabi sebagai manusia biasa seperti dalam makan, minum, tidur dan sebagainya dan kalau perbuatan itu dilakukan menjadi kebaikan bagi mukallaf dan kalau ditinggalkan tidak dapat dikatakan makruh.
·         Nafal ialah perbuatan yang dianjurkan memperbuatnya sebagai pelengkap dari perbuatan wajib dan sunat seperti shalat sunat. Perbuatan yang seperti itu kalau diperbuat akan memperoleh pahala dan kalau ditinggalkan tidak akan mendapat siksa dan tidak pula dicela[9].
Biasanya, mandub ini disebut juga sunat atau mustahab, dan terbagi kepada:
ü  Sunat ‘ain, ialah segala perbuatan yang dianjurkan kepada setiap pribadi mukallaf untuk dikerjakan, misalnya shalat sunat rawatib.
ü  Sunat kifayah, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat cukup oleh salah seorang saja dari suatu kelompok, seperti mengucapkan salam, mendoakan orang bersin, dan lain sebagainya.
Para ulama dalam kalangan mazhab Syafi’i membagi mandub menjadi dua macam ialah:
Ø  Sunat muakkad, ialah perbuatan yang dituntut memperbuatnya namun tidak dikenakan siksa bagi yang meninggalkannya tetapi dicela. Contohnya perbuatan sunat yang menjadi pelengkap perbuatan wajib seperti azan, shalat berjamaah, shalat hari raya, berkurban dan akikah, karena perbuatan-perbuatan yang seperti itu selalu diperbuat Rasulullah SAW. hanya sekali atau dua kali beliau tinggalkan yang menunjukkan perbuatan itu bukan wajib namun digemari oleh beliau.
Ø  Sunat Ghairu muakkad, ialah segala perbuatan yang dituntut memperbuatnya namun tidak dicela meninggalkannya tetapi Rasulullah SAW. sering meninggalkannya, atau dengan kata lain yaitu segala macam perbuatan sunat yang tidak selalu dikerjakan Rasul,.
3.    Haram
a.       Pengertian Haram
Para ahli ushul mengatakan tentang haram ialah:
“apa yang dituntut oleh syara’ untuk tidak melakukannya dengan tuntutan keras.”
Atau dengan kata lain dilarang memperbuatnya dan kalau diperbuat akan mendapat siksa dan kalau ditinggalkan akan mendapat pahala.
Tuntutan yang seperti ini dapat diketahui melelui lafal nash seperti dalam firman Allah:
Artinya: “diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi (daging) hewan yang disembelih atas nama selain Allah… ( QS. Al-Maidah 3)
b.      Pembagian Haram
Secara garis besarnya haram dibagi kepada dua:
·         Haram li zatihi, ialah haram  karena perbuatan itu sendiri, atau haram karena zatnya. Haram seperti ini pada pokoknya  adalah haram yang memang diharamkan sejak semula. Misalnya membunuh, berzina, mencuri, dan lain-lain.
·         Haram li gairihi, ialah Haram karena berkaitan dengan perbuatan lain, atau haram karena faktor lain yang datang kemudian. Misalnya, jual beli yang hukum asalnya mubah, berubah menjadi haram ketika azan jum’at sudah berkumandang. Begitu juga dengan puasa Ramadhan yang semulanya wajib berubah berubah menjadi haram kerena dengan berpuasa itu akan menimbulakn sakit yang mengancam keselamatan jiwa. Begitu juga dengan lainnya[10]
Para ulama dalam kalangan mazhab Hanafi membagi haram ini menjadi dua macam yang dilihat dari segi kekuatan dalil yang menetapkan ialah:
Ø  Haram yang ditetapkan melalui dalil qath’i ialah harm dari Al quran, Sunnah Mutawatir dan Ijma. Haram yang ditetapkan melalui dalil qath’i ini sebagi kebalikan fardhu.  Contohnya seperti larangan berbuat zina seperti yang diterangakan dalam ayat 32 Surah Al Isra’.
Ø  Haram yang ditetapkan melalui dalil zanni seperti hadis Ahad dan kias dan haram seperti ini sebagai kebalikan wajib atau juga dinamakan karahiyatut tahrim. Contohnya seperti larangan bagi kaum pria memakai perhiasan emas dan kain sutra murni yang diterangkan dalam hadis ahad yang diantaranya:
“kedua ini haram atas umatku yang lelaki”(HR Abu Daud, Ahmad dan Nasai dari Ali bin Thalib)
4.  Makruh
a.    PengertianMakruh           
Makruh menurut para ahli ushul ialah:
“apa yang dituntut syara’ untuk meninggalkannya namun tidak begitu keras.” Atau dengan kata lain sesuatu yang dilarang memperbuatnya namun tidak disiksa kalau dikerjakan. Misalnya merokok, memakan makanan yang menimbulkan bau yang tidak sedap, dan lain sebagainya[11].
b. Pembagian Makruh
Pada umumnya, ulama membagi makruh kepada dua bagian:
Ø  Makruh tanzih, yaitu segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik daripada mengerjakan.
Ø  Makruh tahrim, yaitu segala perbuatan yang dilarang, tetapi dalil yang melarangnya itu zhanny, bukan qath’i. Misalnya, bermain catur, memakan kala, dan memakan daging ular (menurut mazhab Hanafiyah dan Malikiyah).
5.  Mubah
a.    PengertianMubah
Yang dimaksud dengan mubah menurut para ahli ushul ialah:
“apa yang diberikan kebebasan kepada para mukallaf untuk memilih anatara memperbuat atau meninggalkannya.”[12]
b. PembagianMubah
Mubah dapat dibagi tiga macam, yaitu:
Yang diterangkan syara’ tentang kebolehannya memilih antara memperbuat atau tidak memperbuat
Ø  Tidak diterangkan kebolehannya namun syara’ memberitahukan akan dapat memberi kelonggaran dan kemudahan bagi yang melakukannya

Tidak diterangkan sama sekali baik kebolehan memperbuatnya yang seperti inui kembali pada kaidah bara’tul ashliyah.


[1] Wahbah al-Zuhaili, 1986, Ushulu al-Fiqhi al-islamiy, Beirut: Dar al-Fikr, hal: 43.
[2] Abdurrahman Dahlan, 2010, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah. Hal: 45
[3] Abdul Wahab Kholaf, tth, Ilmu Ushulu al-Fiqh: Kairo: al-Da’wah al-Islamiyyah, mmmmhal: 106.
[4] Wahbah al-Zuhaili, 1986, Ushulu al-Fiqhi al-islamiy, Beirut: Dar al-Fikr, hal: 85.
[5] Abu Zahroh (terj), 1993, Kaidah-Kaidah hukum Islam, Jakarta: CV Rajawali. Hal: 183.
[6] Abdurrahman Dahlan, 2010, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah. Hal: 68.
[7] Abu Zahroh (terj), 1993, Kaidah-Kaidah hukum Islam, Jakarta: CV Rajawali. Hal: 185.
[8] Abdurrahman Dahlan, 2010, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah. Hal: 77.
[9] H.Ssatria Efendi, M Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009.
[10] Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.
[11] Chaerul Uman, Ushul Fiqh 1, Bandung: CV Pustak Setia, 1
[12] Prof.Dr.H.Satria Efendi,M.zein,M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana 2009).
 
Nah begitulah pembahasan artikel kali ini tentang Macam-Macam Hukum Taklifi. Semoga Bermanfaat

auto insurance, auto insurance quotes, auto insurance companies, auto insurance florida, auto insurance quotes online, auto insurance america, auto insurance comparison, auto insurance reviews, auto insurance calculator, auto insurance score, auto insurance quotes, auto insurance companies, auto insurance florida, auto insurance quotes online, auto insurance america, auto insurance comparison, auto insurance reviews, auto insurance calculator, auto insurance score, auto insurance ratings

Leave a Comment