Pada kesempatan kali ini kita membahas artikel yang berjudul “Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan” Mari kita simak penjelasan lengkap dibawah ini.
Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan
Landasana filosofis mengenai pendidikan ialah filsafat yang kita dianut dan kita yakini adalah berdasarkan agama Islam, maka sebagai konsekuensinya logik, kalau kita berusaha dan selanjutnya melandaskan filsafat pendidikan atas prinsip-prinsip filsafat yang diyakini dan dianutnya. Filsafat pendidikan memanifestasikan pandangan ke depan tentang generasi yang akan dimunculkan. Dalam kaitan ini filsafat pendidikan tidak dapat dilepaskan dari filsafat pendidikan Islam, karena yang dikerjakan oleh kita sebagai umat islam pada hakikatnya adalah prinsip-prinsip Islam yang menurut pemahaman orang islam menjadi dasar pijakan bagi pembentukan manusia Muslim. Oleh karena itu, perlu menelusuri landasan filosofis pendidikan Islam yang digagas oleh para pemikir maupun praktisi pendidikan Islam.[1]
Pendidikan Islam membincangkan filsafat tentang pendidikan bercorak Islam yang berisi perenungan-perenungan mengenai apa sesungguhnya pendidikan Islam itu dan bagaimana usaha-usaha pendidikan dilaksanakan agar berhasil sesuai dengan hukum-hukum Islam. Mohd. Labib Al-Najihi, sebagaimana dikutip Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, memahami filsafat pendidikan sebagai aktifitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat itu sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Suatu filsafat pendidikan yang berdasar Islam tidak lain adalah pandangan dasar tentang pendidikan yang bersumberkan ajaran Islam dan yang orientasi pemikirannya berdasarkan ajaran tersebut. Dengan perkataan lain, pendidikan Islam adalah suatu analisis atau pemikiran rasional yang dilakukan secara kritis, radikal, sistematis dan metodologis untuk memperoleh pengetahuan mengenai hakikat pendidikan Islam.[2]
Sebagai seorang ulama besar, filosuf di zamannya, al-Ghazali dikenal sebagai ulama yang multidisipliner dalam keilmuan. Oleh karena itu, dia memiliki banyak karangan kitab yang membahas tentang berbagai keilmuan Islam. Berbagai referensi yang ada menuliskan kalau dia mengarang tidak kurang 700 kitab sepanjang hidupnya. Namun al-Dzahabi dengan sumber yang kuat mengatakan bahwa jumlah kitab yang realistis dikarang oleh al-Ghazali sepanjang hidupnya hanya sekitar 70-80 kitab saja, sebagaimana yang sampai kepada generasi masa kini juga kurang lebih berjumlah 70-80 kitab. Adapun cerita mengenai al-Ghazali mengarang 700 kitab, boleh jadi benar apabila dihitung dengan ditambahkan lembaran-lembaran berisi syair, nasehat-nasehat pendek, risalah yang ditulis oleh Hujjat al-Islam selama hidupnya.[3]
Ada beberapa kitab, dari puluhan kitab yang dikarang oleh al-Ghazali yang berisi tentang pemikiran-pemikirannya tentang pendidikan, baik pembahasan tersebut dibahas dalam satu kitab khusus atau bercampur dengan pembahasan-pembahasan tentang tema lainnya. Beberapa kitab tersebut adalah Ihya’ Ulum al-Din, Murshid al-Amin, Bidayah al-Hidayah, Ayyuha al-Walad, Mi’yarul Ilmi, Mizan al Amal, Fatihatul Ulum.
Pemikiran-pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan sebagaimana tertulis di dalam kitab-kitabnya adalah meliputi klasifikasi ilmu, cara memperoleh pengetahuan, konsep guru serta murid di dalam pendidikan Islam.
1. Klasifikasi Ilmu
Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu dalam beberapa kelompok yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Di samping itu, macam-macam ilmu dalam perspektif al-Ghazali tersebut dapat memberikan nilai-nilai sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan bagi pelajar.
Menurut Hasan Langgulung sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin dan Usman Said, al-Ghazali memandang ilmu dari dua segi, yaitu ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai obyek. Dari segi pertama ilmu dibagi menjadi ilmu h}issiyah, ilmu aqliyyah, dan ilmu ladunni. Sedangkan ilmu sebagai obyek dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu ilmu yang tercela, ilmu yang terpuji, dan ilmu yang terpuji dalam batas-batas tertentu.[4]
Ilmu yang tercela adalah ilmu yang tidak dapat mendatangkan faedah atau tidak bermanfaat bagi manusia baik di dunia dan akhirat, misalnya ilmu sihir, ilmu perbintangan, ilmu ramalan atau perdukunan. Bahkan, bila ilmu itu diamalkan oleh manusia akan mendatangkan mudlarat dan akan meragukan terhadap kebenaran Tuhan, oleh karenanya ilmu itu harus dijauhi.
Ilmu yang terpuji adalah ilmu yang mendatangkan kebersihan jiwa dari tipu daya dan kerusakan serta akan mengajak manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ilmu dalam golongan ini semisal ilmu tauhid, fiqh, akhlaq.
Selanjutnya ilmu yang terpuji dalam taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam, adalah ilmu-ilmu yang apabila manusia mendalami pengkajiannya pasti menyebabkan kekacauan pemikiran dan keragu-raguan, dan mungkin mendatangkan kekufuran, seperti ilmu filsafat. Jadi dalam perspektif al-Ghazali, ilmu itu tidak bebas nilai, ilmu pengetahuan apapun yang dipelajari harus dikaitkan dengan moral dan nilai guna.[5]
Berdasarkan ketiga kelompok ilmu tersebut, al-Ghazali membagi lagi ilmu tersebut menjadi dua kelompok dari segi moral dan manfaat, yaitu ilmu yang wajib diketahui oleh setiap muslim (fard}u ‘ain) dan ilmu yang fard}u kifayah dalam arti tidak wajib diketahui oleh segenap orang Islam, tetapi harus ada orang Islam yang mempelajarinya.
2. Cara Mendapatkan Ilmu
Untuk mendapatkan ilmu, Al-Ghazali menyebutkan ada dua cara. Pertama, yaitu mengikuti metode ulama, dan yang kedua mengikuti metode sufiyyah.
Metode pertama, t}ori>qu al-‘ulama (metode ilmuwan/scientist) adalah suatu jalan bagaimana seseorang mendapatkan hakikat pengetahuan melalui pembelajaran, berpikir, dialog, penelitian, dan sejenisnya. Al-Ghazali mengelompokkan dan menyebut ilmu-ilmu untuk mencapai hakikat pengetahuan dengan istilah ilmu mu’amalah. Kemudian, cara yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan disebut tarti>bul bara>hin.[6]
Selanjutnya, atau yang kedua, t}ori>qus s}u>fiyah (metode sufistik) adalah suatu jalan bagaimana seseorang mencapai hakikat pengetahuan melalui pembersihan nafsu dan hati. Sufistik tidak menekankan pembelajaran teori-teori, postulat, atau aksioma seperti halnya metode ulama. Sebagai gantinya, sufistik menekankan perilaku yang baik di kehidupan. Al-Ghazali menyebut ilmu-ilmu dalam jalan sufistik melalui sebutan ilmu muka>shafah dan ilmu tasawwuf. Kemudian, cara yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan itu, dia menyebutnya dengan istilah tazkiyat al-nafs.[7]
Selain menyebutkan cara memperoleh ilmu secara teoritis sebagaimana disebut di atas, al-Ghazali juga menjelaskan cara-cara praktis dalam mencari ilmu yang didominasi oleh pemikiran tasawwuf. Sebagai contoh al-Ghazali menganjurkan kepada setiap orang yang menuntut ilmu agar memulai belajarnya dengan kebersihan hati (s}ofaul qalbi), karena yang demikian akan mendatangkan kesuksesan di dalam belajar. Selain itu al-Ghazali juga mengajarkan kepada pencari ilmu untuk tidak sombong (menganggap remeh) terhadap ilmu dan juga selalu menghormati guru. Hal lain yang juga disebutkan oleh Hujjatul Islam ialah agar pencari ilmu, memulai kegiatan belajarnya dengan niat yang bagus (h}usnu al-niyah) dan semata-mata untuk bertaqarrub kepada Allah dan mengharap ridla-Nya, tidak untuk mencari pangkat, harta, dan kekuasaan.[8]
[1] Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam atas Duni Intelektual Barat; Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 2003.
[2] Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
[3] Nata, Abuddin. Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid, Studi
[4] Rahman, Fazlur. Islam. Bandung: PUSTAKA, 1997.
[5] Watt, W. Montgomery. Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam. Jakarta: Lentera, 1979.
[6] M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2001), 1-2.
[7] Abd. Salam Harun, Tahdzib Ihya’ Ulum al-Din, (Kairo: Dar Sa’ad, tt), Juz 1, 7.
[8] Hasan Asy’ari, The Educational Thought of al-Ghazali, (Montreal: Institute of Islamic Studies Mc Gill University, 1993), 9.
Nah begitulah pembahasan artikel kali ini tentang “Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan”. Semoga Bermanfaat